Tanpa terasa, sudah satu tahun Abu Al-Aina' tinggal di Baghdad. Ia menikah dengan adik sepupunya sendiri. Waktu senggang ia mengajak jalan-jalan budaknya keliling kota baghdad. Disuatu tempat ia berkenalan dengan seorang wanita cukup cantik. Karena merasa tertarik, ia ingin menikahinya.
"Apa pendapatmu tentang wanita itu?" tanya Abu Al-Aina' kepada budaknya.
"Cukup menarik," jawab si budak.
"Bagaimana kalau aku menikah dengannya?"
Si budak menjawab, "Aku dukung."
Tak ayal, Abu Al-Aina' pun menikahi wanita itu dengan diam-diam sehingga tidak diketahui isterinya yang pertama.
Untuk sekedar merayakan pernikahan tersebut, Abu Al-Aina' menyuruh budaknya untuk membeli seekor ikan besar kesukaannya. Tidak lama kemudian, budak itu datang dengan membawa seekor ikan jenis lain.
"Tadi aku tidak menyuruhmu membeli jenis ikan seperti ini!" kata Abul Al-Aina' dengan kesal.
"Benar, Tuan. Tetapi, menurut dokter, ikan kesukaan Tuan itu kurang baik untuk kesehatan. Maka aku belikan jenis ikan yang penuh protein ini."
"Aku tak peduli dengan omongan dokter itu!" bentak Abul Al-Aina' marah.
Ia lalu bangkit mengambil cambuk, dan memukul budaknya sepuluh kali. Selesai memukul, budak itu merebut cambuk dan memukul Abul Al-Aina' tujuh kali seraya berkata, "Tuan, menurut agama, Tuan hanya diperbolehkan memukul tiga kali. Jadi kelebihan tujuh kali. Dari pada kelak Tuan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah, lebih baik aku balas sekarang: kasihan Tuan nanti."
Abul Al-Aina' marah mendengar itu. Karena kesal, ia banting budak itu sampai terluka. Sambil menahan rasa sakit, budak itu pulang menemui isteri pertama tuannya.
"Tuan puteri, sesungguhnya agama itu merupakan nasehat, dan Nabi SAW pernah bersabda, "Siapa menipu kami, ia bukan termasuk golongan kami." Aku beritahu Tuan Puteri, terus terang, suami Tuan Puteri telah menikah lagi dengan wanita lain. Aku diminta merahasiakannya, Tuan Puteri. Ketika aku bermaksud menceritakan ini kepada Tuan Puteri, ia malah menghajarku sampai terluka seperti ini."
Tak lama kemudian Abul Al-Aina' muncul. Istri-istrinya mendamprat habis-habisan, dan melarangnya masuk rumah. Terpaksa selama beberapa hari ia tinggal tak menentu. Demi kebaikan bersama, ia lalu menceraikan isterinya yang baru, kendati dengan berat hati.
Setelah hidup rukun kembali dengan isterinya, Abul Al-Aina' memutuskan untuk membebaskan budak itu agar ia hidup tenang dan tidak terganggu lagi. Namun setelah bebas, budak itu menemui Abul Al-Aina' untuk menuntut hak-haknya. Ia ingin menunaikan ibadah haji. Akhirnya Abul Al-Aina' membiayai semua keperluannya.
Dua puluh hari kemudian si budak muncul lagi.
"Kenapa kamu kembali?" tanya Abul Al-Aina'."
Di tengah-tengah perjalanan tiba-tiba aku teringat firman Allah, "Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah, sedang aku merasa tidak mampu. Aku lalu berfikir Tuanlah yang lebih berkewajiban. Itulah sebabnya aku kembali lagi," jawab budak itu.
Sebagai gantinya si budak ikut berperang. Abul Al-Aina' lagi-lagi menyiapkan segala perlengkapan dan bekalnya. Begitu budak itu pergi, ia langsung menjual semua harta miliknya, termasuk yang ada di Bashrah, lalu segera meninggalkan Baghdad karena takut si budak akan kembali lagi.
Sumber: Al-Muntazham fi Tarikh Al-Muluk wa Al-Umam, Ibnu Al-Jauzi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar