KISAH KERAJAAN KEDIRI V / V

Dikatakan pula bahwa Airlangga merasa bingung karena harus memberi kerajaan kepada dua orang anak laki – lakinya. Maka ia mengutus Mpu Bharada pergi untuk meminta kerajaan di bali diberikan kepada anaknya yang kedua. Pergilah Mpu Bharada ke bali menyebrangi selat bali diatas daun kekatang (keluih). Mpu Kutura tidak dapat memenuhi permintaan raja Airlangga, karena Mpu Kutura telah mempersiapkan kerajaan di bali dengan keturunannya sendiri. Akhirnya Airlangga membagi tanah jawa menjadi dua. Dalam pelaksanakannya kembali dilakukan oleh Mpu Bharada.
Sehingga berdirilah kerajaan panjalu disebelah timur, dan jenggala di sebelah barat.
Kisah pembagian kerajaan ini juga diperkuat oleh prasasti Turun Hyang (1044).
Dalam prasasti Turun Hyang, diketahui nama raja Janggala setelah pembelahan ialah Mapanji Garasakanputri dari selir. Nama raja Kadiri tidak disebutkan dengan jelas, namun dapat diperkirakan dijabat oleh Samarawijaya, karena sebelumnya ia sudah menjabat sebagai putra mahkota yang merupakan adik dewi kilisuci dari sang permaisuri.
Adanya unsur Teguh dalam gelar Samarawijaya, menunjukkan kalau ia adalah putra Airlangga yang dilahirkan dari putri Dharmawangsa Teguh. Sedangkan Mapanji Garasakan adalah putra dari istri kedua. Dugaan bahwa Airlangga memiliki dua orang istri didasarkan pada penemuan dua patung wanita pada Candi Belahan di lereng Gunung Penanggungan, yang diyakini sebagai situs pemakaman Airlangga. Prasasti Turun Hyang tersebut merupakan piagam pengesahan anugerah Mapanji Garasakan
Pada tahun 1042 Airlangga turun takhta (Lengser Kaprabon Madeg Pandhita) menjadi pendeta, ia kemudian berguru pada Mpu Bharada. Hal ini didasarkan pada prasasti Pamwatan, 20 November 1042, yang menjelaskan bahhwa Airlangga masih bergelar Maharaja, sedangkan dalam prasasti Gandhakuti, 24 November 1042, ia sudah bergelar Resi Aji Paduka Mpungku. Dengan demikian, peristiwa pembelahan kerajaan dan sekaligus turun tahtanya beliau diperkirakan terjadi di antara kedua tanggal tersebut.
Menurut Serat Calon Arang ia kemudian bergelar Resi Erlangga Jatiningrat, sedangkan menurut Babad Tanah Jawi ia bergelar Resi Gentayu. Namun yang paling dapat dipercaya adalah prasasti Gandhakuti (1042) yang menyebut gelar kependetaan Airlangga adalah Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana.
Tahun 1044 terjadi peperangan penduduk desa Turun Hyang yang setia membantu Janggala melawan Kadiri. Jadi, pembelahan kerajaan yang dilakukan oleh Airlangga terkesan sia-sia belaka, karena kedua putranya, yaitu Samarawijaya dan Mapanji Garasakan tetap saja berebut kekuasaan.
Pembelahan kerajaan sepeninggal Airlangga tidak membuahkan hasil. Perang saudara tetap terjadi antara Garasakan raja Janggala melawan Sri Samarawijaya raja Kadiri. Mula-mula kemenangan berada di pihak Janggala. Pada tahun itu juga (1044) Garasakan menetapkan desa Turun Hyang sebagai sima swatantra atau perdikan, karena para pemuka desa tersebut setia membantu Janggala melawan Kadiri.

Pada tahun 1052 Garasakan memberi anugerah untuk desa Malenga karena membantu Janggala mengalahkan Aji Linggajaya raja Tanjung. Linggajaya ini merupakan raja bawahan Kadiri. Piagam yang berkenaan dengan peristiwa tersebut terkenal dengan nama prasasti Malenga.
Tentang wafatnya Airlangga tidak diketahui dengan pasti, satu-satunya informasi adalah dari Prasasti Sumengka (1059) peninggalan Kerajaan Janggala yang hanya menyebutkan, “Resi Aji Paduka Mpungku dimakamkan di tirtha atau pemandian”. Kolam pemandian yang paling sesuai dengan berita prasasti Sumengka adalah Candi Belahan di lereng Gunung Penanggungan. Pada kolam tersebut ditemukan arca Wisnu disertai dua dewi. Berdasarkan prasasti Pucangan (1041) diketahui Airlangga adalah penganut Hindu Wisnu yang taat. Maka, ketiga patung tersebut dapat diperkirakan sebagai lambang Airlangga dengan dua istrinya, yaitu ibu Sri Samarawijaya dan ibu Mapanji Garasakan.
Pada Candi Belahan ditemukan angka tahun 1049. Tidak diketahui dengan pasti apakah tahun itu adalah tahun kematian Airlangga, ataukah tahun pembangunan candi pemandian tersebut.
Pada generasi berikutnya  dikisahkan bahwa . Kerajaan Panjalu selalu kalah dalam perang melawan Janggala. Keberadaan Kerajaan Panjalu diketahui dengan adanya prasasti Sirah Keting tahun 1104 yang dikeluarkan Sri Jayawarsa. Raja-raja sebelum Sri Jayawarsa diantaranya adalah adalah Sri Samarawijaya
Baru saat di bawah pemerintahan Sri Jayabhaya, Panjalu berhasil menaklukkan Kerajaan Janggala dalam pertempuran di Hantang sebagaimana tercatat dalam prasasti Hantang (1135), yang berbunyi Panjalu Jayati (Panjalu Yang Berkemenangan).
Pada masa Sri Jayabhaya inilah, Kerajaan Panjalu mengalami masa keemasan. Wilayah kerajaan diketahui meliputi seluruh Jawa dan beberapa pulau di Nusantara, bahkan sampai mengalahkan pengaruh Kerajaan Sriwijaya di Sumatera.
            Secara berurut Raja-raja yang berkuasa sepeninggal Airlangga di Kediri dari jalur
Sri Samarawijaya ditemukan dalam prasasti Pamwatan (1042). adalah:

1.Sri Jayawarsa Digwijaya Sastraprabhu
Berdasarkan prasasti Sirah Keting (1104) dan Prasasti Mruwak (1108).

2.Sri Bameswara Sakalabhuwana Tustikarana Sawarniwariwiryya Parakrama Digjaya Utunggadewa
Berdasarkan prasasti Padelegan I (1117), prasasti Panumbangan (1120),dan prasasti Tangkilan (1130).

3.Sri Maharaja Sang Panji Jayabhaya Sri Warmeswara Madusudanawatara Anindita Suhtrsingha Parakrama Utunggadewa
Merupakan raja terbesar Panjalu, berdasarkanprasasti Ngantang (1135), prasasti Talan (1136), dan Kakawin Bharatayuddha (1157).

4.Sri Sarweswara Janardarawatara Wijaya Agrajasama Singhanadani WaryawiryaParakrama Digjaya Utunggadewa
Berdasarkan prasasti Padelegan II (1159), prasastiKahyunan (1161).

5.Sri Aryeswara Madusudanawatara Arijayamukha
Berdasarkan prasasti Angin (1171).

6. Sri Kroncaryyadhipa Bhuwanapalaka Parakrama Anindita Digjaya Utunggadewa Sri Gandra Berdasarkan prasasti Jaring (1181).

7.Sri Kamesywara Triwikrama Awatara Aniwariwirya Parakrama Anindita Digjaya Utunggadewa Berdasarkan prasasti Ceker (1182) dan Kakawin Smaradahana.

8.Sri Kertajaya yang menggunakan nama abhiseka Sri Sarweswara Triwikramawatara Anindita Srenggalancana Digjaya Utunggadewa
Berdasarkan prasasti Galunggung(1194), Prasasti Kamulan (1194), prasasti Palah (1197), prasasti Wates Kulon atauLawadan (1205), Nagarakretagama, dan Pararaton.

Kerajaan Panjalu-Kadiri runtuh pada masa pemerintahan Kertajaya seperti dikisahkan dalam Pararaton dan Nagarakretagama. Pada tahun 1222 Kertajaya berselisih melawan Kaum Brahmana yang menolak untuk menyembahnya sebagai titisan Wisynu.
Para pendeta kemudian meminta perlindungan kepada Ken Arok akuwu Tumapel yang merupakan keturunan Mapanji Garasakan. Ken Arok memanfaatkan kesempatan itu. Pada saat Kertajaya menyatakan bahwa tidak ada yang bisa mengalahkannya selain Bhattara Guru, maka Ken Arok menobatkan diri sebagai Bhattara Guru.
            Perang antara Kadiri dengan Tumapel pun terjadi. Menurut cerita, dalam pertempuran dekat desa Ganter, pasukan Ken Arok berhasil menghancurkan pasukan Kertajaya. Dengan demikian berakhirlah masa Kerajaan Kadiri, yang sejak saat itu kemudian menjadi bawahan Tumapel yang di masa Wisynuwarddhana diubah menjadi Singhasari, sedangkan Kadiri menjadi wilayah bawahan (sakawat-bhumi)
Pada masa Kadiri dibawah pimpinan Jayakatwang, Jayakatwang memberontak terhadap Singhasari. Tepat pada saat Kerajaan Singasari mengerahkan hamper seluruh pasukannya untuk menyerang Sriwijaya,  Raja Jayakatwang menyerbu kerajaan Singosari yang hanya dijaga oleh segelintir pasukan dibawah pimpinan Sanggramawijaya menantu Kertanegara..
Pemyerbuan ini membuat Kertanegara terbunuh, namun Sanggramawijaya berhasil selamat. Jayakatwang memindahkan dan membangun kembali Kerajaan Kadiri dengan memindahkan pusat kekuasaan di Glangglang ke Kadiri. Namun kekuasaan itu hanya berlangsung kurang dari satu tahun karena serangan yang dilancarkan pasukan Mongol yang mendapat bantuan pasukan Sanggramawijaya.
Prasasti-prasati yang berkaitan dengan Kerajaan Kediri,
 Prasasti Calcutta tahun 1041 (dinamakan prasasti Cakcutta karena prasasti tersebut berada di Calcutta, India. Sampai sekarang pun prasasti yang dibuat Raja Airlangga dan memuat silsilah keteurunan Mpu Sindok sampai dengan keberadaan Airlangga sendiri)
 Prasasti Kamalagyan yang bertarikh 1037 Masehi, disebutkan bahwa hasil pertanian di Medang sangat melimpah sehingga sampai dikirim ke Mancanegara.
 Prasasti Mahaksobya yang bertarikh 1289 Masehi (Bambang Pramudito, Negara Kertagama, 2006), disebutkan bahwa untuk melaksanakan pembelahan kaerajaan menjadi dua, dengan cara mengucurkan air dari kendi yang dibawa terbang dari arah barat ke timur sehingga terjadi dua wilayah di sebelah selatan yang dinamakan Panjalu dan di sebelah utara dinamakan Jenggala, disertai kutukan, siapa saja dari kedua putra Raja Airlangga yang melanggar garis batas yang telah ditetapkan, akan terkena kutukan Empu Bharada. Di samping itu, Empu Bharada juga memberikan nasihat kepada mereka agar berhenti bermusuhan.
 Prasasti kakurangan sekitar tahun 1023 (945 saka) dan prasasti gandhakuti sekitar tahun 1042 (964 saka), disebutkan bahwa raja Airlangga memuat hak-hak istimewa yang diberikan kepada si penerima anugrah Sima. Daftar hak istimewa itu mulai ada pada prasasti Raja Sindok dan menjadi semakin panjang pada prasasti yang ditulad pada masa majapahit.
 Prasasti Pamwatan dikeluarkan oleh raja Airlangga melalui Mahamantri I Hino Sri Samarawijaya. Dikeluarkan pada tahun 1042 M atau 964 saka. Disebutkan tentang bagian atas prasasti yang bertuliskan kata DAHANA(PURA) dalam aksara kwadrat Kediri. Sehingga muncul analisa yang memperkirakan jika wilayah Pamotan dan sekitarnya adalah pusat Kota Dahanapura yang merupakan ibukota kerajaan Airlangga di akhir masa Pemerintahannya 964 C / 1042 M .  
 Prasasti Nagajatisari penulisannya menggunakan huruf Jawa Kuno. Di bagian bawah prasasti sebenarnya masih bisa terbaca, dan prasasti ini ditengarai sebagai prasasti Airlangga menilik dari jenis hurufnya. Namun, hingga sekarang belum diketahui tentang isi prasasti Nagajatisari, dan kepada siapa prasasti ini diberikan.
 Prasasti Sumber sari I dan Prasasti Sumbersari 2. Kedua prasasti ini tidak diketahui tahun pembuatannya, kondisi permukaan prasasti sudah aus dan hampir tidak ditemui jejak tulisan maupun aksara dalam tubuh prasasti. Ada kemungkinan juga bahwa batu ini baru merupakan sebuah bakalan prasasti. Prasasti ini juga pecah pada bagian tengahnya tetapi masih tersambung tepat.
 Prasasti Sendang Gede , sisi depan prasasti ini tampak tulisan sebanyak 26 baris, disisi belakang juga data tulisan sebnyak 26 baris sedangkan disudut C dan D tidak tampak tulisannya. Aksaranya jawa kuno dan tentunya bahasanya jawa kuno ( walaupun tidak terbaca). Bahan bakunya mengandung banyak pasir.
Prasasti ini terletak disebelah timur sendang dan menancap di tanah, bagian bawah tidak diketahui bentuk aslinya, apakah terdapat padmasana ataukah langsung menancap di tanah.
 Prasasti Druju Gurit merupakan prasasti yang cukup besar dibanding prasasti lainnya.
Kaki prasasti dipahat dari hiasan Padma Ganda. Tulisanya sangat aus, disisi depan ada 26 baris, disisi belakang juga tampak 26 baris sedangkan di sisi C dan D tidak tampak tulisanya.
Bahan batunya mengandung bahan kapur dan sangat rapuh. Dibagian bawah terdapat hiasan padmasana. Disekitar lokasi prasasti juga banyak ditemukan fragmen pecahan gerabah dan batubata kuno.
Prasasti ini juga diperkirakan sebagai prasasti peninggalan Raja Airlangga atau generasi penerus Airlangga, mengingat belum ada penerjemahan terkait isi prasasti dan kepada siapa prasasti ini diberikan.
 Prasasti Wotan. Prasasti ini tidak diketahui tanggal pembuatannya dan penulisannya menggunakan aksara Jawa Kuno. Tulisan yang tampak disisi depan ada 31 baris, disisi belakang ada 30 baris, disisi C 26 baris dan di sisi D ada 21 Baris. Tulisanya tidak jelas sehingga prasasti ini belum berhasi dibaca isinya, tetapi bentuk hurufnya serupa dengan prasasti jaman Airlangga.
Namun dijelaskan bawa prasasti ini berasal dari zaman Airlangga atau generasi penerus Airlangga, terlihat dari model aksara yang terdapat pada prasasti ini.
 Prasasti Purwokerto ditemukan dalam keadaan sudah hancur berantakan. Hampir tidak ditemukan jejak tulisan apapun pada badan prasasti karena kondisinya yg hancur dan berlumut.
Bentuk awal prasasti ini juga tidak diketahui. Sebagian dari badan prasasti masih menancap di tanah dan tertimbun dengan rerumputan dan tanah pematang, sebagian dari reruntuhannya terdapat di sekeliling. Paling tidak terdapat 4 bongkahan batu pecahan prasasti ini disekitar lokasi tersebut dan terpendam sebagian di dalam lumpur sawah.
Jejak aksara pada prasasti ini relative lebih jelas dibanding seluruh prasasti yang ada di Lamongan. Meski sudah menipis hurufnya, hasil berita laporan penelitian arkeologi menyebutkan bahwa pada salah satu baris disisi depan terbaca kata “Imah Irah”, artinya sama dengan lemahabang atau tanah merah. Tidak diketahui secara pasti isi keseluruhan prasasti ini, namun banyak ahli epigrafi berpendapat bahwa prasasti ini diperkirakan sebagai prasasti jaman Airlangga.
 Prasasti Brumbun, Bagian atas prasasti berbentuk segitiga dengan puncak lancip. Pada permukaan prasasti terlihat halus dan tulisan pada prasasti tak dapat dikenali lagi.
 Prasasti Mendogo, Prasasti ini tertancap di sebuah akar pohon, dengan kondisi pohon menjepit badan prasasti, hanya bagian atas ujung prasasti yang terlihat dengan posisi miring. Sehingga sulit diketahui ukuran pasti badan prasasti, baik lebar, maupun tingginya. Jejak tulisan pada prasasti ini juga sangat sulit dikenali mengingat kondisinya berlumut dan sangat aus, ditambah medan yang sangat sulit.
Hampir tidak ada keterangan apapun mengenai prasasti ini, data yang ada hanya sekedar catatan dari dinas setempat. Juga tidak ditemui data pada registrasi maupun penelitian sebelumnya.

 Prasasti Turunhyang A pada tahun 1036 atau 958 Masehi. Prasasti ini memuat daftar orang, mulai dari pejabat tinggi sampai rakyat biasa yang menerima pasak-pasak sudah tidak lagi di sebut dalam prasasti Raja Airlangga, kecuali prasasti ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar