Dikatakan
pula bahwa Airlangga merasa bingung karena harus memberi kerajaan kepada dua
orang anak laki – lakinya. Maka ia mengutus Mpu Bharada pergi untuk meminta
kerajaan di bali diberikan kepada anaknya yang kedua. Pergilah Mpu Bharada ke
bali menyebrangi selat bali diatas daun kekatang (keluih). Mpu Kutura tidak
dapat memenuhi permintaan raja Airlangga, karena Mpu Kutura telah mempersiapkan
kerajaan di bali dengan keturunannya sendiri. Akhirnya Airlangga membagi tanah
jawa menjadi dua. Dalam pelaksanakannya kembali dilakukan oleh Mpu Bharada.
Sehingga berdirilah kerajaan panjalu disebelah timur, dan jenggala di sebelah
barat.
Kisah pembagian
kerajaan ini juga diperkuat oleh prasasti Turun Hyang (1044).
Dalam prasasti Turun Hyang,
diketahui nama raja Janggala setelah pembelahan ialah Mapanji Garasakanputri
dari selir. Nama raja Kadiri tidak disebutkan dengan jelas, namun dapat
diperkirakan dijabat oleh Samarawijaya, karena sebelumnya ia sudah menjabat
sebagai putra mahkota yang merupakan adik dewi kilisuci dari sang permaisuri.
Adanya
unsur Teguh dalam gelar Samarawijaya, menunjukkan kalau ia adalah putra
Airlangga yang dilahirkan dari putri Dharmawangsa Teguh. Sedangkan Mapanji
Garasakan adalah putra dari istri kedua. Dugaan bahwa Airlangga memiliki dua
orang istri didasarkan pada penemuan dua patung wanita pada Candi Belahan di
lereng Gunung Penanggungan, yang diyakini sebagai situs pemakaman Airlangga. Prasasti
Turun Hyang tersebut merupakan piagam pengesahan anugerah Mapanji Garasakan
Pada tahun
1042 Airlangga turun takhta (Lengser Kaprabon Madeg Pandhita) menjadi pendeta,
ia kemudian berguru pada Mpu Bharada. Hal ini didasarkan pada prasasti
Pamwatan, 20 November 1042, yang menjelaskan bahhwa Airlangga masih bergelar
Maharaja, sedangkan dalam prasasti Gandhakuti, 24 November 1042, ia sudah
bergelar Resi Aji Paduka Mpungku. Dengan demikian, peristiwa pembelahan
kerajaan dan sekaligus turun tahtanya beliau diperkirakan terjadi di antara
kedua tanggal tersebut.
Menurut
Serat Calon Arang ia kemudian bergelar Resi Erlangga Jatiningrat, sedangkan
menurut Babad Tanah Jawi ia bergelar Resi Gentayu. Namun yang paling dapat
dipercaya adalah prasasti Gandhakuti (1042) yang menyebut gelar kependetaan
Airlangga adalah Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana.
Tahun 1044
terjadi peperangan penduduk desa Turun Hyang yang setia membantu Janggala
melawan Kadiri. Jadi, pembelahan kerajaan yang dilakukan oleh Airlangga
terkesan sia-sia belaka, karena kedua putranya, yaitu Samarawijaya dan Mapanji
Garasakan tetap saja berebut kekuasaan.
Pembelahan
kerajaan sepeninggal Airlangga tidak membuahkan hasil. Perang saudara tetap
terjadi antara Garasakan raja Janggala melawan Sri Samarawijaya raja Kadiri.
Mula-mula kemenangan berada di pihak Janggala. Pada tahun itu juga (1044) Garasakan
menetapkan desa Turun Hyang sebagai sima swatantra atau perdikan, karena para
pemuka desa tersebut setia membantu Janggala melawan Kadiri.
Pada tahun
1052 Garasakan memberi anugerah untuk desa Malenga karena membantu Janggala
mengalahkan Aji Linggajaya raja Tanjung. Linggajaya ini merupakan raja bawahan
Kadiri. Piagam yang berkenaan dengan peristiwa tersebut terkenal dengan nama
prasasti Malenga.
Tentang wafatnya
Airlangga tidak diketahui dengan pasti, satu-satunya informasi adalah dari Prasasti
Sumengka (1059) peninggalan Kerajaan Janggala yang hanya menyebutkan, “Resi Aji
Paduka Mpungku dimakamkan di tirtha atau pemandian”. Kolam pemandian yang
paling sesuai dengan berita prasasti Sumengka adalah Candi Belahan di lereng
Gunung Penanggungan. Pada kolam tersebut ditemukan arca Wisnu disertai dua
dewi. Berdasarkan prasasti Pucangan (1041) diketahui Airlangga adalah penganut
Hindu Wisnu yang taat. Maka, ketiga patung tersebut dapat diperkirakan sebagai
lambang Airlangga dengan dua istrinya, yaitu ibu Sri Samarawijaya dan ibu
Mapanji Garasakan.
Pada Candi
Belahan ditemukan angka tahun 1049. Tidak diketahui dengan pasti apakah tahun
itu adalah tahun kematian Airlangga, ataukah tahun pembangunan candi pemandian tersebut.
Pada generasi
berikutnya dikisahkan bahwa . Kerajaan
Panjalu selalu kalah dalam perang melawan Janggala. Keberadaan Kerajaan Panjalu
diketahui dengan adanya prasasti Sirah Keting tahun 1104 yang dikeluarkan Sri
Jayawarsa. Raja-raja sebelum Sri Jayawarsa diantaranya adalah adalah Sri
Samarawijaya
Baru saat
di bawah pemerintahan Sri Jayabhaya, Panjalu berhasil menaklukkan Kerajaan
Janggala dalam pertempuran di Hantang sebagaimana tercatat dalam prasasti
Hantang (1135), yang berbunyi Panjalu Jayati (Panjalu Yang Berkemenangan).
Pada masa
Sri Jayabhaya inilah, Kerajaan Panjalu mengalami masa keemasan. Wilayah
kerajaan diketahui meliputi seluruh Jawa dan beberapa pulau di Nusantara,
bahkan sampai mengalahkan pengaruh Kerajaan Sriwijaya di Sumatera.
Secara berurut Raja-raja yang
berkuasa sepeninggal Airlangga di Kediri dari jalur
Sri
Samarawijaya ditemukan dalam prasasti Pamwatan (1042). adalah:
1.Sri
Jayawarsa Digwijaya Sastraprabhu
Berdasarkan
prasasti Sirah Keting (1104) dan Prasasti Mruwak (1108).
2.Sri
Bameswara Sakalabhuwana Tustikarana Sawarniwariwiryya Parakrama Digjaya Utunggadewa
Berdasarkan
prasasti Padelegan I (1117), prasasti Panumbangan (1120),dan prasasti Tangkilan
(1130).
3.Sri
Maharaja Sang Panji Jayabhaya Sri Warmeswara Madusudanawatara Anindita Suhtrsingha
Parakrama Utunggadewa
Merupakan
raja terbesar Panjalu, berdasarkanprasasti Ngantang (1135), prasasti Talan
(1136), dan Kakawin Bharatayuddha (1157).
4.Sri
Sarweswara Janardarawatara Wijaya Agrajasama Singhanadani WaryawiryaParakrama
Digjaya Utunggadewa
Berdasarkan
prasasti Padelegan II (1159), prasastiKahyunan (1161).
5.Sri
Aryeswara Madusudanawatara Arijayamukha
Berdasarkan
prasasti Angin (1171).
6. Sri
Kroncaryyadhipa Bhuwanapalaka Parakrama Anindita Digjaya Utunggadewa Sri Gandra
Berdasarkan prasasti Jaring (1181).
7.Sri
Kamesywara Triwikrama Awatara Aniwariwirya Parakrama Anindita Digjaya
Utunggadewa Berdasarkan prasasti Ceker (1182) dan Kakawin Smaradahana.
8.Sri
Kertajaya yang menggunakan nama abhiseka Sri Sarweswara Triwikramawatara
Anindita Srenggalancana Digjaya Utunggadewa
Berdasarkan prasasti
Galunggung(1194), Prasasti Kamulan (1194), prasasti Palah (1197), prasasti
Wates Kulon atauLawadan (1205), Nagarakretagama, dan Pararaton.
Kerajaan
Panjalu-Kadiri runtuh pada masa pemerintahan Kertajaya seperti dikisahkan dalam
Pararaton dan Nagarakretagama. Pada tahun 1222 Kertajaya berselisih melawan
Kaum Brahmana yang menolak untuk menyembahnya sebagai titisan Wisynu.
Para
pendeta kemudian meminta perlindungan kepada Ken Arok akuwu Tumapel yang
merupakan keturunan Mapanji Garasakan. Ken Arok memanfaatkan kesempatan itu.
Pada saat Kertajaya menyatakan bahwa tidak ada yang bisa mengalahkannya selain
Bhattara Guru, maka Ken Arok menobatkan diri sebagai Bhattara Guru.
Perang
antara Kadiri dengan Tumapel pun terjadi. Menurut cerita, dalam pertempuran
dekat desa Ganter, pasukan Ken Arok berhasil menghancurkan pasukan Kertajaya.
Dengan demikian berakhirlah masa Kerajaan Kadiri, yang sejak saat itu kemudian
menjadi bawahan Tumapel yang di masa Wisynuwarddhana diubah menjadi Singhasari,
sedangkan Kadiri menjadi wilayah bawahan (sakawat-bhumi)
Pada masa
Kadiri dibawah pimpinan Jayakatwang, Jayakatwang memberontak terhadap
Singhasari. Tepat pada saat Kerajaan Singasari mengerahkan hamper seluruh
pasukannya untuk menyerang Sriwijaya,
Raja Jayakatwang menyerbu kerajaan Singosari yang hanya dijaga oleh
segelintir pasukan dibawah pimpinan Sanggramawijaya menantu Kertanegara..
Pemyerbuan
ini membuat Kertanegara terbunuh, namun Sanggramawijaya berhasil selamat.
Jayakatwang memindahkan dan membangun kembali Kerajaan Kadiri dengan
memindahkan pusat kekuasaan di Glangglang ke Kadiri. Namun kekuasaan itu hanya
berlangsung kurang dari satu tahun karena serangan yang dilancarkan pasukan
Mongol yang mendapat bantuan pasukan Sanggramawijaya.
Prasasti-prasati yang berkaitan
dengan Kerajaan Kediri,
Prasasti Calcutta tahun 1041
(dinamakan prasasti Cakcutta karena prasasti tersebut berada di Calcutta,
India. Sampai sekarang pun prasasti yang dibuat Raja Airlangga dan memuat
silsilah keteurunan Mpu Sindok sampai dengan keberadaan Airlangga sendiri)
Prasasti Kamalagyan yang
bertarikh 1037 Masehi, disebutkan bahwa hasil pertanian di Medang sangat
melimpah sehingga sampai dikirim ke Mancanegara.
Prasasti Mahaksobya yang
bertarikh 1289 Masehi (Bambang Pramudito, Negara Kertagama, 2006), disebutkan
bahwa untuk melaksanakan pembelahan kaerajaan menjadi dua, dengan cara
mengucurkan air dari kendi yang dibawa terbang dari arah barat ke timur
sehingga terjadi dua wilayah di sebelah selatan yang dinamakan Panjalu dan di
sebelah utara dinamakan Jenggala, disertai kutukan, siapa saja dari kedua putra
Raja Airlangga yang melanggar garis batas yang telah ditetapkan, akan terkena
kutukan Empu Bharada. Di samping itu, Empu Bharada juga memberikan nasihat
kepada mereka agar berhenti bermusuhan.
Prasasti kakurangan sekitar
tahun 1023 (945 saka) dan prasasti gandhakuti sekitar tahun 1042 (964 saka),
disebutkan bahwa raja Airlangga memuat hak-hak istimewa yang diberikan kepada
si penerima anugrah Sima. Daftar hak istimewa itu mulai ada pada prasasti Raja
Sindok dan menjadi semakin panjang pada prasasti yang ditulad pada masa
majapahit.
Prasasti Pamwatan dikeluarkan
oleh raja Airlangga melalui Mahamantri I Hino Sri Samarawijaya. Dikeluarkan
pada tahun 1042 M atau 964 saka. Disebutkan tentang bagian atas prasasti yang
bertuliskan kata DAHANA(PURA) dalam aksara kwadrat Kediri. Sehingga muncul
analisa yang memperkirakan jika wilayah Pamotan dan sekitarnya adalah pusat
Kota Dahanapura yang merupakan ibukota kerajaan Airlangga di akhir masa
Pemerintahannya 964 C / 1042 M .
Prasasti Nagajatisari
penulisannya menggunakan huruf Jawa Kuno. Di bagian bawah prasasti sebenarnya
masih bisa terbaca, dan prasasti ini ditengarai sebagai prasasti Airlangga
menilik dari jenis hurufnya. Namun, hingga sekarang belum diketahui tentang isi
prasasti Nagajatisari, dan kepada siapa prasasti ini diberikan.
Prasasti Sumber sari I dan
Prasasti Sumbersari 2. Kedua prasasti ini tidak diketahui tahun pembuatannya,
kondisi permukaan prasasti sudah aus dan hampir tidak ditemui jejak tulisan
maupun aksara dalam tubuh prasasti. Ada kemungkinan juga bahwa batu ini baru
merupakan sebuah bakalan prasasti. Prasasti ini juga pecah pada bagian
tengahnya tetapi masih tersambung tepat.
Prasasti Sendang Gede , sisi
depan prasasti ini tampak tulisan sebanyak 26 baris, disisi belakang juga data
tulisan sebnyak 26 baris sedangkan disudut C dan D tidak tampak tulisannya.
Aksaranya jawa kuno dan tentunya bahasanya jawa kuno ( walaupun tidak terbaca).
Bahan bakunya mengandung banyak pasir.
Prasasti ini terletak disebelah
timur sendang dan menancap di tanah, bagian bawah tidak diketahui bentuk
aslinya, apakah terdapat padmasana ataukah langsung menancap di tanah.
Prasasti Druju Gurit merupakan
prasasti yang cukup besar dibanding prasasti lainnya.
Kaki prasasti dipahat dari hiasan
Padma Ganda. Tulisanya sangat aus, disisi depan ada 26 baris, disisi belakang
juga tampak 26 baris sedangkan di sisi C dan D tidak tampak tulisanya.
Bahan batunya mengandung bahan
kapur dan sangat rapuh. Dibagian bawah terdapat hiasan padmasana. Disekitar
lokasi prasasti juga banyak ditemukan fragmen pecahan gerabah dan batubata
kuno.
Prasasti ini juga diperkirakan
sebagai prasasti peninggalan Raja Airlangga atau generasi penerus Airlangga,
mengingat belum ada penerjemahan terkait isi prasasti dan kepada siapa prasasti
ini diberikan.
Prasasti Wotan. Prasasti ini
tidak diketahui tanggal pembuatannya dan penulisannya menggunakan aksara Jawa
Kuno. Tulisan yang tampak disisi depan ada 31 baris, disisi belakang ada 30
baris, disisi C 26 baris dan di sisi D ada 21 Baris. Tulisanya tidak jelas
sehingga prasasti ini belum berhasi dibaca isinya, tetapi bentuk hurufnya
serupa dengan prasasti jaman Airlangga.
Namun dijelaskan bawa prasasti ini
berasal dari zaman Airlangga atau generasi penerus Airlangga, terlihat dari
model aksara yang terdapat pada prasasti ini.
Prasasti Purwokerto ditemukan
dalam keadaan sudah hancur berantakan. Hampir tidak ditemukan jejak tulisan
apapun pada badan prasasti karena kondisinya yg hancur dan berlumut.
Bentuk awal prasasti ini juga
tidak diketahui. Sebagian dari badan prasasti masih menancap di tanah dan
tertimbun dengan rerumputan dan tanah pematang, sebagian dari reruntuhannya
terdapat di sekeliling. Paling tidak terdapat 4 bongkahan batu pecahan prasasti
ini disekitar lokasi tersebut dan terpendam sebagian di dalam lumpur sawah.
Jejak aksara pada prasasti ini
relative lebih jelas dibanding seluruh prasasti yang ada di Lamongan. Meski
sudah menipis hurufnya, hasil berita laporan penelitian arkeologi menyebutkan
bahwa pada salah satu baris disisi depan terbaca kata “Imah Irah”, artinya sama
dengan lemahabang atau tanah merah. Tidak diketahui secara pasti isi
keseluruhan prasasti ini, namun banyak ahli epigrafi berpendapat bahwa prasasti
ini diperkirakan sebagai prasasti jaman Airlangga.
Prasasti Brumbun, Bagian atas
prasasti berbentuk segitiga dengan puncak lancip. Pada permukaan prasasti
terlihat halus dan tulisan pada prasasti tak dapat dikenali lagi.
Prasasti Mendogo, Prasasti ini
tertancap di sebuah akar pohon, dengan kondisi pohon menjepit badan prasasti,
hanya bagian atas ujung prasasti yang terlihat dengan posisi miring. Sehingga
sulit diketahui ukuran pasti badan prasasti, baik lebar, maupun tingginya.
Jejak tulisan pada prasasti ini juga sangat sulit dikenali mengingat kondisinya
berlumut dan sangat aus, ditambah medan yang sangat sulit.
Hampir tidak ada keterangan apapun
mengenai prasasti ini, data yang ada hanya sekedar catatan dari dinas setempat.
Juga tidak ditemui data pada registrasi maupun penelitian sebelumnya.
Prasasti Turunhyang A pada tahun
1036 atau 958 Masehi. Prasasti ini memuat daftar orang, mulai dari pejabat
tinggi sampai rakyat biasa yang menerima pasak-pasak sudah tidak lagi di sebut
dalam prasasti Raja Airlangga, kecuali prasasti ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar