KISAH KERAJAAN KEDIRI IV / V

Menurut Serat Calon Arang, karena penolakan ini Airlangga kemudian bingung memilih pengganti karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Mengingat dirinya juga putra raja Bali, maka ia pun berniat menempatkan salah satu putranya di pulau itu. Gurunya yang bernama Mpu Bharada berangkat ke Bali. Di kisahkan dalam perjalanan menyeberang laut, Mpu Bharada cukup dengan menumpang sehelai daun. Sesampainya di Bali Mpu barada mengajukan niat tersebut namun mengalami kegagalan. Mpu Bharada menyampaikan permintaan tersebut kepada mpu Kuturan sebagai ayah Udayana, tetapi permintaan itu ditolak oleh mpu Kuturan yang sudah mempunyai calon sendiri buat menjadi raja di bali. Fakta sejarah menunjukkan Udayana digantikan putra keduanya yang bernama Marakata sebagai raja Bali, dan Marakata kemudian digantikan adik yang lain yaitu Anak Wungsu.
Airlangga lalu membagi dua wilayah kerajaannya. Mpu Bharada ditugasi menetapkan perbatasan antara bagian barat dan timur. Peristiwa pembelahan ini tercatat dalam Serat Calon Arang, Nagarakretagama, dan prasasti Turun Hyang II. Maka terciptalah dua kerajaan baru. Kerajaan barat
disebut Kadiri berpusat di kota baru, yaitu Daha, diperintah oleh Sri Samarawijaya. Sedangkan kerajaan timur disebut Janggala berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan, diperintah oleh Mapanji Garasakan. Dalam versi cerita rakyat Koripan kemudian dibelah dua, menjadi Janggala dan Kadiri, yang masing-masing dipimpin oleh adik Kili Suci, yaitu Lembu Amiluhur dan Lembu Peteng.
Ada dua buah Kitab yang menjelaskan tentang pembagian Kerajaan yang dilakukan oleh raja Airlangga menjadi Panjalu yang berpusat di Daha dan Jenggala yang berpusat di Kahuripan. Pertama, Kitab Negarakertagam menyebutkan bahwa Raja Airlangga telah memerintah pembagian tanah Jawa karena cinta kasihnya kepada dua orang anak Laki-lakinya yang sama-sama ingin menjadi raja yaitu raja panjalu yang bertahta di daha dan jenggala yang bertahta di kahuripan. Pembagian kerajaan dilakukan oleh Mpu Bharada, penganut agama budha Mahayana dari aliran tantra yang bertempat tinggal di Lemah Citra. Dalam cerita pelaksanakan pembagian kerajaan tersebut menggunakan air kendi  yang dituangkan dari udara oleh Mpu Bharada. Batas itu ditarik dari dari barat ketimur sampai kelaut. Tetapi dalam menjalankan tugasnya Mpu Bharada mengalami beberapa kendala, karena didesa palungan jubahnya tersangkut pohon asam, sehingga ia terpaksa turun dari udara dan berhenti ditempat itu. Pohon asam itu lalu dikutuknya hingga tetap menjadi pohon kerdil. Oleh sebab itu, penduduk sekitar menamakan daerah itu Kamal Pandak, yang artinya “asem pendek”, desa Kamal Pandak pada zaman Majapahit menjadi lokasi pendirian Prajnaparamitapuri, yaitu candi pendharmaan arwah Gayatri, istri Raden Wijaya.
Selesai menetapkan batas Kerajaan Kadiri dan Janggala berdasarkan cucuran air kendi, Mpu Bharada mengucapkan kutukan, barang siapa berani melanggar batas tersebut hidupnya akan mengalami kesialan. Menurut prasasti Mahaksobhya yang diterbitkan Kertanagara raja Singhasari tahun 1289, kutukan Mpu Bharada sudah tawar berkat usaha Wisnuwardhana menyatukan kedua wilayah tersebut.
Nagarakretagama juga menyebutkan, Mpu Bharada adalah pendeta Buddha yang mendapat anugerah tanah desa Lemah Citra atau Lemah Tulis. Berita ini cukup unik karena ia bisa menjadi guru spiritual Airlangga yang menganut agama Hindu Wisnu.
Sedangkan dalam kitab calon arang sebelum kisah pembagian kerajaan itu diceritakan terlebih dahulu bahwa Kerajaan Airlangga ditimpa musibah wabah penyakit yang amat menyeramkan. Banyak sekali penduduk yang mati. Kalau pagi sakit, sore kemudian mati. Kalau sakit sore pagi ia mati. Sehingga memakan banyak korban dari masyarakat. Dalam cerita hal ini disebabkan oleh wabah yang ditimbulkan oleh seorang janda di Girah yang merasa sakit hati karena anaknya yang paling cantik tidak ada orang yang meminang. Raja meminta bantuan Mpu Bharada, Mpu Bharada pun mengutus muridnya untuk melamar anak janda tersebut. Dengan tipu muslihat, sang janda dapat ditundukkan dan minta disempurnakan. Maka sejak saat itu redalah wabah yang melanda kerajaan Airlangga.       
Dikatakan pula bahwa Airlangga merasa bingung karena harus memberi kerajaan kepada dua orang anak laki – lakinya. Maka ia mengutus Mpu Bharada pergi untuk meminta kerajaan di bali diberikan kepada anaknya yang kedua. Pergilah Mpu Bharada ke bali menyebrangi selat bali diatas daun kekatang (keluih). Mpu Kutura tidak dapat memenuhi permintaan raja Airlangga, karena Mpu Kutura telah mempersiapkan kerajaan di bali dengan keturunannya.........



sebelumnya                                                                                                                 sesudahnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar